Kanibal Di Tanah Jambi Mansur (57) alias Terosman alias Kete membunuh majikannya Dasrullah (45) dengan sadis. Sesudah itu kelamin korban dipotong, diiris-iris, direbus, dikasih garam dan bawang lalu dijadikan lauk makan nasi.
Mansur adalah lelaki yang dikutuk kemiskinan. Keadaan yang demikian membuatnya jadi bengis, sadis dan penuh amarah menyala.
Jauh sebelum jadi pembunuh,-lalu menyantap kemaluan korbannya,- Mansur hanyalah buruh upah tani. Hasilnya pas-pasan.
Sehari makan nasi, dua hari makan angin. Begitulah setiap hari.
Jika ada panggilan, ia membantu menanam atau menuai padi. Jika tidak ada, Mansur menjadi pencuri kelas teri. Apapun ia curi demi mengganjal perut anak dan istri.
Suatu ketika Mansur bosan mencuri teri, maka ia mencuri sapi. Sungguh apes, aksinya kali ini ketahuan si pemilik sapi. Ia kemudian ditangkap polisi dan dijebloskan ke tahanan Polsek Solok Selatan.
Di tahanan ia berkumpul bersama sesama begundal. Sesama orang-orang miskin yang terpaksa menjadi bandit demi hidup sehari-hari. Tak tahan digebuki, pada hari ke-15 Mansur sukses mengibuli polisi. Ia berhasil melarikan diri.
Ia lantas mengajak anaknya R (16) untuk menjadi buron. R hanya menurut, toh sudah lama ia putus sekolah. Mau gimana lagi, terkutuknya kemiskinan membuat si bungsu tak rampung SD.
Meninggalkan kampung halaman di Dusun Tabuh Pulut Jorong Tabek Nagari Tabek, Pariangan, Tanah Datar, Sumatera Barat, ayah dan anak itu bertekad mengubah nasib di Batanghari, Jambi. Anak sulung dan istri harus ditinggalkan karena keadaan yang memang terpaksa.
Mungkin memang sudah nasib baik, di tanah pelarian ia bertemu orang baik. Dasrullah namanya, seorang saudagar sawit. Suatu kebetulan keduanya memiliki darah Minang, maka akrablah mereka layaknya saudara.
Dasrullah menawari Mansur untuk bekerja di kebun sawitnya di Desa Tidar Kuranji, Maro Sebo Ilir, Batanghari. Upahnya Rp.2 Juta sebulan. Luasnya enam hektare. Pekerjaannya membersihkan rumput, memberi pupuk, memanen sawit dan sebagainya.
Mansur tentu senang hati. Jadi buruh sawit jelas lebih baik dari pada jadi buruh tani. Ia dan R pun berdiam di pondok yang berada di kawasan kebun. Beras dan lauk pauk dicukupi oleh Dasrullah.
Sesingkat waktu setahun berlalu. Tak disangka pekerjaan Mansur bisa dikatakan berjalan baik. Ia pun dianugrahi naik jabatan. Buronan itu dipercaya mengelola kebun sepenuhnya.
Memang dasarnya Mansur bertabiat maling. Uang hasil panen yang semestinya disetorkan penuh kepada Dasrullah ia tilap diam-diam. Derajatnya sebagai penjahat telah naik beberapa tinggkat. Dahulu pencuri, kini dia jadi pemula bidang korupsi.
Rp.7 juta setiap bulan uang majikan ia sikat dan terjadi terus-terusan.
Selihai tupai melompat pasti akan jatuh juga, begitulah nasib si Mansur. Habislah ia dijejali segala rupa caci maki oleh Dasrullah.
Meski demikian, rupanya si majikan masih berbaik hati, Mansur urung dilapor polisi.
Mansur cukup diberi sanksi berupa potong gaji. Buronan itu kemudian menerima upah Rp.200 ribu setiap panen 100 ton. Panen dikerjakan 2 minggu sekali.
Artinya Mansur hanya menerima upah Rp.400 ribu dalam sebulan.
Mansur tentu tak terima. Apalagi sanksi itu sudah berjalan tiga tahun. Ia pun memendam sakit hati dan ingin segera menuntut balas. Hari demi hari berganti, Mansur rutin mengasah parang.
Hingga pada akhirnya hari yang telah lama dinanti itupun tiba.
4 November 2017 Dasrullah tiba untuk melihat kebun lalu menginap di pondok. Tak terbersit sedikitpun di benaknya bahwa sebentar lagi ia akan disembelih.
5 November 2017, dini hari sekira pukul 02.30 WIB, Mansur bergerak mengendap sambil memegang parang. Pengalaman sebagai maling ternyata cukup berguna. Dibukanya pintu kamar, dilihatnya Dasrullah tengah terlelap. Mata Mansur nyalang dengan seringai mengerikan
Ia bergegas mendekat, parang digenggamnya semakin erat. Seiring detak jantung yang semakin cepat, parang diangkatnya tinggi lalu diayunkan teramat kuat. Craak…. Dasrullah menjerit, lengan kanannya koyak menjuntai.
Tulang yang putus menyembul di celah daging. Darah segar segera menggenang di atas kasur kapuk yang lusuh.
“Astagfirullah, da. Rampok, da. Bantu, da,” pekik Dasrullah.
Ayunan parang kembali melesat. Tebasan demi tebasan terus menghunjam. Dada Dasrullah menganga, perut terbelah mengeluarkan jeroan dan lengan kanan hampir penggal.
Sesaat berlalu Dasrullah mengerang bersimbah darah. Suaranya rintihnya terdengar lirih. Akan tetapi nyawanya masih sangkut di batang leher.
Berpikir cepat, Mansur menaruh bilah parang yang dingin di batang tenggorokan majikannya, ditekannya sangat kuat.
Berpikir cepat, Mansur menaruh bilah parang yang dingin di batang tenggorokan majikannya, ditekannya sangat kuat.
Detik berikutnya, Mansur menarik parang itu dengan beringas.
Sreet….
Batang tenggorokan majikannya menganga, mengucurkan darah segar bak keran bocor.
Lehernya hampir putus. Dasrullah mengeluarkan suara mengorok sebelum akhirnya tewas disembelih.
Mansur duduk terdiam, mengatur napas yang tersengal. Di hadapannya Dasrullah sudah terkapar dengan kondisi tercincang.
Mansur kembali bangkit, ditariknya celana Dasrullah sebatas lutut. Entah bisikan dari mana, ia rogoh kelamin Dasrullah yang ciut. Dengan keji, kelamin majikan ia sayat. Tidak terduga Mansur mengalami kesusahan, parang yang ia genggam telah tumpul.
Disayat berkali-kali daging tumbuh itu tak mau putus. Mansur beranjak ke dapur, mengambil sebuah pisau. Kali ini kebengisannya berjalan mulus. Cress… Kelamin Dasrullah jatuh ke lantai dalam kondisi mengkerut.
Belum juga puas, kelamin itu segera ia bawa ke dapur, dibersihkan dan diiris-iris. Di atas kompor menyala, irisan kelamin segera ia rebus, dikasih garam dan irisan bawang merah dan putih.
Sesekali Mansur mencicipi sup kelamin itu. Setelah dirasa matang, langsung ia jadikan lauk untuk santap nasi. Lebih dari dua centong nasi habis, Mansur pun kenyang. Kuah sup kelamin ia seruput hingga tak bersisa.
Mansur tersenyum puas seraya menepuk perut yang membuncit. Majikan yang ia anggap diktator itu telah dihabisi. Kelaminnya pun telah ia santap agar tidak dihantui. Ujar Mansur, kuliner ekstrem itu rasanya seperti hati ayam.
Waktu menunjukkan pukul 03.30 WIB, Mansur bergegas membangunkan R yang terlelap. Si bungsu kaget bukan kepalang melihat tubuh ayahnya masih ada sisa cipratan darah.
“A-ado apo, pak?”
“Dak usah banyak cerito, ikut bae bantu aku.”
Meski terheran, R tidak membantah. Ia ikuti langkah ayahnya yang terlihat begitu menakutkan. Demi menyaksikan jasad Dasrullah yang habis dicincang dan penuh darah, R seketika gemetar. “Astaghfirullah. Apa ini Pak? Basing be Bapak ni,” kata R ketakutan.
“Udah, jangan banyak cerito. Kau diem saja. Bantu bapak menguburnya,” hardik Mansur. R menepis ragu. Dengan lapang dada ia bantu ayahnya. Jasad Dasrullah yang malang dibungkus kasur, dilapis tikar, diikat lalu diangkat ke atas lori.
Kedua ayah dan anak itu segera mendorong lori sejauh 500 meter dari pondok.
Adzan subuh berkumandang, menelusup di antara daun-daun sawit yang bergoyang tertiup angin. Pada subuh yang gelap itu, ayah dan anak bergantian menggali lubang,–
mengangkat tubuh sang majikan, lalu menyembunyikan mayatnya satu meter di dalam tanah. Dua hari berselang, ayah dan anak itu melarikan diri. Motor Dasrullah mereka curi, berharap bisa berkelit dari tajamnya pisau hukum di negeri ini
Mansur rupanya memang kurang ajar betul. Sebagai penjahat miskin, beraninya ia bermimpi bisa lepas dari jerat hukum. Ia lupa pelarian begitu hanya berlaku bagi penjahat kaya yang merampok negara saja. Apalagi pelariannya bukan ke luar negeri tapi masih di sekitar situ-situ saja
Sekitar sebulan berselang, ia dan anak dicokok petugas setelah jandanya Dasrullah melapor ke polisi. Tidak pakai lama, Mansur diringkus di Padang dan R di Palembang.
Demi kemanusiaan, Pengadilan Negeri Muarabulian menghukum Mansur penjara sepanjang hayat. Sedangkan R yang kala itu di bawah umur, harus merasakan getirnya setahun di balik dinginnya tembok bui.
Tinggalkan Balasan