Ada satu kisah yang tidak masuk di akal saya dari orang ini. Namanya Hajime Fujii, seorang tentara Jepang yang sudah berpengalaman tempur bahkan sebelum Perang Dunia 2.
Dia bergabung sebagai infanteri dalam invasi ke China, sebelum akhirnya terluka akibat tembakan mortar dan dipulangkan ke Jepang.
Fujii menderita cedera parah pada tangan kirinya yang kemudian dirawat oleh seorang perawat, Fukuko. Keduanya menikah dan dikaruniai 2 orang anak, Kazuko dan Chieko.
Singkat cerita, karena cederanya Fujii ditugaskan diluar tempur – sebatas mendidik tentara muda Jepang terkait disiplin, loyalitas, dan patriotisme terhadap Kaisar dan negara.
Kebanyakan dari tentara didikannya ini adalah pilot Kamikaze. Saking berdedikasinya, Fujii bahkan sering mengatakan bila ada kesempatan dia ingin ikut mati bersama muridnya.
Pikirannya terganggu, dia merasa gagal dan tidak becus. Selama ini dia selalu mengajarkan bahwa mati demi Kaisar adalah hal yang mulia, sedangkan dia sendiri malah masih hidup – menurutnya perjuangan ini tidak mulia. Bahkan motto Fujii adalah Words and Deeds should be consistent.
Akhirnya dia mengajukan diri untuk melakukan kamikaze. Namun permintaannya ditolak karena 2 alasan :
- Fujii merupakan aset penting untuk menanamkan disiplin dan patriotisme tentara muda, khususnya pilot Kamikaze.
- Dia mempunyai keluarga, ada istri dan 2 anak.
Beruntung istrinya sangat setia dan pengertian, tidak tega melihat suaminya merasa gagal → istrinya malah bunuh diri bersama kedua anaknya.
Dia menggendong anak pertamanya dan mengikat anak keduanya yang masih bayi di punggung. Mereka lompat ke sungai Arakawa hingga tewas tenggelam.
Berkat kesetiaan istrinya, Fujii akhirnya bisa berangkat menjadi pilot Kamikaze.
Tidak sia-sia, serangan Kamikaze Fujii berhasil menenggelamkan USS Drexler pada 28 Mei 1945. Bukan dia doang sih yang meledak disana, jadi bukan berkat Fujii juga.
Tinggalkan Balasan