Kamis 26 September 2019 adalah hari yang kelam bagi KM (17). Jam menunjukan pukul 07.30 pagi, KM menggali lubang sedalam 30 sentimeter menggunakan cangkul dan linggis di pekarangan pondoknya yang reot. Di belakang, sang ayah Robendi (43), mengawasi dengan mata merah menyala.
“Barake! Mun jida, ikau ji pateikuh! (Cepat! atau kamu yang kubunuh!)” ancam Robendi dengan suara menggelegar.
Dengan tangan gemetar, remaja pria itu memasukan jasad adik sekaligus keponakannya ke dalam lubang galian. Sesekali ia meringis, babak belur di sekujur badan akibat gebukan ayah kandung belum sepenuhnya pulih.
Tanpa sadar air matanya jatuh tatkala menimbun jasad si bayi malang. Ditimbunnya tanah liat hingga terbentuklah gundukan kuburan tanpa nisan. Perasaan remaja itu remuk redam, di hadapannya telah ada dua makam tanpa nisan persis bersebelahan.
Seminggu yang lalu, KM menguburkan adik kandungnya RK (16) yang meregang nyawa hanya beberapa saat setelah melahirkan. Kini, pusara RK berdampingan dengan pusara sang buah hati yang belum genap berusia tujuh hari.
KM menoleh, dilihatnya sang ayah melangkah masuk ke dalam pondok untuk melanjutkan tidur. Mendapat kesempatan, tanpa ragu ia melarikan diri. Ia kabur ke arah hutan, meninggalkan pondok neraka yang berada di kawasan hutan desa Batu Karang, Kecamatan Laung Tuhup, Murung Raya, Kalimantan Tengah.
Tujuannya adalah mencari pertolongan di desa tetangga.
*****
Sekitar pukul 08.30, seorang bapak-bapak warga desa Batu Bua hendak berangkat ke ladang. Namun langkahnya terhenti ketika
dilihatnya seorang remaja mendekat dari arah kebun karet yang tak terurus. Sekilas ia mengenal remaja itu, tapi lupa-lupa ingat.
“Dohop, mang. Dohop. Polisi! (Tolong, paman. Tolong. Polisi!)” ucap si remaja dengan suara parau.
Warga tadi mengernyitkan dahi. Dilihat sekilas, remaja ini jelas sekali jarang makan. Tampangnya kusam, badannya sisa tulang, bajunya lusuh penuh tambalan seadanya. Wajahnya juga penuh lebam tanda kerap mendapat siksaan.
Selang beberapa saat, warga tadi akhirnya mengenali si remaja. Ia adalah KM, anaknya Robendi si tukang onar. Seingatnya, Robendi mengajak kedua anaknya yang masih kecil membuka ladang di hutan bertahun-tahun lalu. Hanya sesekali ia muncul di desa, itupun selalu berujung dengan mengajak warga berkelahi. Melihat kehadiran KM, firasatnya mengatakan ada yang tak beres dengan keluarga kecil itu.
“Ada apa, nak?” tanya warga tadi seraya menyerahkan sebotol air putih.
KM langsung menenggak air hingga tumpah-tumpah di mulut. Setelah napasnya teratur, ia berucap, “tolong ulun, paman. Adik sekaligus keponakan saya, mati dibunuh ayah.”
Warga tadi tersentak, ucapan KM terasa janggal dan membingungkan.
“A-adik sekaligus keponakan?”
“I-inggih, paman…” sahut KM tertunduk lesu.
“Astaghfirullahul adzim…”
Warga tadi mengelus dada berkali-kali. Tak perlu dijelaskan, sepertinya ia memahami musibah apa yang telah menimpa KM dan adiknya RK.
*****
Pagi menjelang siang, Desa Batu Bua mendadak gempar mendengar kabar ada bayi hasil hubungan sedarah tewas mengenaskan. Bak wabah penyakit, selentingan demi selintingan menyebar dari hulu hingga ke hilir. Berita dari mulut ke mulut kian simpang siur karena banyak yang ditambah-tambahi.
Di ruang kepala desa, KM masih dirundung kesedihan. Kalimat yang ia ucapkan teramat lirih, putus-putus, serta diiringi isak tertahan.
“A-Ayah telah memperkosa adik perempuan saya. Seminggu yang lalu RK mati saat melahirkan. Dan tadi pagi, anaknya RK dibanting ayah tiga kali. Bayi malang itu akhirnya mati setelah dada dan kepalanya diinjak sampai remuk.”
Mendengar penuturan KM, kepala desa mendadak terdiam. Tak ada satu katapun yang keluar dari mulutnya. Tubuhnya sampai gemetar. Perangkat desa yang ikut mendengar bergidik ngeri, sebagian lagi mengucap istighfar berulang-ulang.
Sewaktu KM melanjutkan cerita, suasana ruangan mendadak hening. Semua orang tercekat, apa yang mereka dengar terlalu miris dan pilu.
Terbata-bata KM menyampaikan kebengisan ayahnya tadi pagi.Ujarnya, pagi itu sekitar pukul 06.00 Robendi terbangun dengar amarah. Jerit kencang anak sekaligus cucunya telah membuat darahnya menggelegak.
Sebagai ayah sekaligus kakek, Robendi rupanya tak peduli bahwa bayi mungil itu menangis kelaparan. Tentu saja ia lapar. Air putih takkan membuatnya kenyang. Pelukan hangat sang ibu tak pernah ia rasakan.
Robendi yang tak terima tidurnya terganggu, langsung ambil jalan pintas.
Segera diraihnya si mungil yang berada di kamar sebelah. Diangkatnya tinggi di udara. Si bayi menangis manja, dikiranya akan dibuai hingga lelap. Namun, justru maut yang ia dapatkan.
Braak…!
Sekali hempas, si bayi malang menggelepar di atas lantai ulin yang keras. Tangisnya semakin nyaring, berharap ada pertolongan.
Melihat si bayi tak kunjung diam, Robendi makin gelap mata. Diraihnya si bayi, dihempas, diraih lagi, lalu dihempas lagi. Si bayi megap-megap bak ikan lepas di darat, tapi belum mati. Ia tersedak. Mulutnya sudah mulai mengeluarkan darah bercampur liur, tulang belakangnya telah patah dua.
Si bayi tak berdosa menatap Robendi dengan sudut mata sayu, meminta pengampunan. Bagaimanapun juga, tubuh mungilnya takkan sanggup melawan lelaki dewasa. Tangisnya pun tak lagi mengeluarkan suara, hanya pekikan yang bisu.
Akan tetapi Robendi tak kunjung puas.
Kraak…
Terdengar suara gemeretak tulang patah. Dengan beringas, Robendi menginjak dada anak sekaligus cucunya itu tanpa ampun. Dilihatnya si bayi belum juga mati, kali ini Robendi menyasar kepala si buah hati. Diangkatnya kaki kanan setinggi mungkin, lalu…
Braak…
Hening.
Sekali hentak, kepala mungil si bayi pecah. Telapak kaki kanan Robendi berlumur darah segar. Ceceran otak menempel di sela jari.
Kucuran darah segera mengalir, membasahi lantai kayu yang penuh debu. Bayi merah itu sudah tak lagi mengeluarkan suara. Ia terkapar dengan kondisi wajah hancur, rahang lepas, mulut menganga dan tulang dada yang sepenuhnya remuk.
KM yang baru tiba setelah mencari kayu bakar terduduk lemas di sudut kamar. Tubuhnya gemetar dan dadanya sesak. Dengan mata berkaca-kaca, kakak sekaligus paman itu tertunduk kehilangan kekuatan. Hanya ada sesal mendalam dan rasa bersalah lantaran tak mampu melindungi bayi yang bahkan belum punya nama.
Setelah menyuruh mengubur si bayi, ayahnya lantas berlalu tanpa penyesalan. Ia melangkah gontai, meninggalkan jejak darah membentuk tapak kaki di lantai kayu yang mulai lapuk.
“Astagfirullahul adzim…Biadab! Sungguh biadap!” sentak pak Kades penuh emosi. Bahkan badannya sampai gemeter hebat.
Seorang ibu yang mendengar cerita KM menangis tersedu. Luluh batinnya mendengar cerita yang begitu menyayat hati. Hampir saja ia limbung jika tak segera ditangkap perangkat desa yang lain.
Selanjutnya dengan diantar kepala desa serta beberapa orang warga, KM lantas membuat laporan ke Polsek Laung Tuhup.
*****
Tepat tengah hari, tim reskrim Polres Murung Raya bersama aparat Polsek Laung Tuhup bergerak menuju kediaman Robandi. Warga harap-harap cemas, berharap si ayah bejat segera diringkus.
Selepas Ashar, warga akhirnya bernapas lega. Robendi digotong menggunakan tandu. Tubuhnya tampak banjir darah. Lelaki bejat itu kemudian dibawa menggunakan speed boat, menyusuri sungai Barito menuju RSUD di kota kabupaten guna mengeluarkan peluru yang bersarang di badan.
Menurut keterangan tak resmi salah seorang anggota, Robendi melakukan perlawanan sengit sebelum berhasil dibekuk. Siang itu, upaya penangkapan tak ubahnya adegan laga. Setibanya petugas di area pondok, Robendi telah menanti dengan sebilah mandau di tangan. Bertelanjang dada, Robendi menantang petugas berkelahi.
“Jika aku mati hari ini, setidaknya dua dari kalian akan ikut aku ke neraka!” gertak Robendi dengan mata melotot.
Petugas melangkah teratur, seraya terus membujuk Robendi untuk menyerah. Namun, Robendi justru berbuat nekad. Tiga letusan peringatan tak membuatnya gentar.
Lelaki itu melompat, hendak menebas leher salah seorang polisi yang paling dekat.
Door…!
Robendi terjungkal, petugas bersikap waspada. Detik berikutnya, semua orang tercengang. Robendi berdiri dengan tenang, bertopang pada mandau. Peluru yang menyasar dadanya hanya meninggalkan bekas biru. Robendi menyeringai, menatap tajam petugas yang tadi menembaknya.
Robendi melangkah maju, letusan demi letusan tak juga membuatnya roboh. Sebagian peluru menyasar angin, sebagian pistol bahkan tak menyalak sama sekali. Petugas semakin panik, Robendi kebal peluru.
Akan tetapi sudah jadi rahasia umum, polisi yang memburu kriminal biasanya juga punya pegangan. Lelaki beringas itu akhirnya tersungkur setelah salah satu peluru bersarang di pinggangnya. Sebutir peluru lagi yang menembus paha membuatnya benar-benar tak berkutik.
*****
Setelah peluru dikeluarkan, Robendi lagi-lagi membuat orang terperangah. Meski masih lemah sebab kehilangan banyak darah, luka bekas peluru sama sekali tak berbekas. Di dalam sel, para tahanan yang sudah mendengar kekejian Robendi sangat tak sabar ingin memberi pelajaran.
Robendi yang masih lemah seakan hanya pasrah tanpa perlawanan. Ia digebuki, ditendang dan ditinju. Akan tetapi justru para tahanan itu yang kelelahan. Memukuli lelaki itu sama seperti meninju tiang listrik yang terbuat dari baja. Ujung-ujungnya salah seorang tahanan harus dipanggilkan tukang urut karena lengannya keseleo.
Lalu, siapakah Robendi sebenarnya?
Ia sebenarnya adalah warga desa Batu Bua.
Menurut informasi dari orang kampung, Robendi dahulu adalah laki-laki biasa yang pemalu.
Kegemarannya menonton film Barry Prima, Adven Bangun, George Rudy dan sejenisnya. Ia pernah membeli VCD bajakan Bruce Lee. Meski tanpa subtitle, film itu ia tonton hingga tuntas.
Suatu ketika ia balampah (bertapa) ke gunung Bondang, salah satu gunung yang terkenal angker di pedalaman Kalimantan Tengah. Setelah beberapa lama, Robendi akhirnya turun gunung layaknya para pendekar jaman dahulu. Namun sayang, Robendi tak hidup di era dunia persilatan. Tak ada seorangpun yang meladeni niatnya berkelahi.
Setelah menjadi orang sakti, Robendi bukannya membela kebenaran tapi berlaku sinting. Ia yang dahulu pemalu berubah jadi temperamental. Sedikit-sedikit ia ingin adu jotos. Ia pun terkenal sebagai pembuat onar.
Konon, tiga orang jagoan dari desa di hulu sungai pernah menantangnya adu taji. Robendi disergap saat hendak ke ladang. Mandau dan tombak dihantam ke kepala dan badan.
Robendi tak menangkis, justru membentang tangan. Tiga orang jagoan tadi seketika gemetar lalu terbirit melarikan diri, meninggalkan senjata tajam yang telah bengkok.
Sejak saat itu, warga lebih memilih menghindar jika berpapasan dengan Robendi. Mereka juga memilih mengalah jika ternaknya diambil tanpa permisi. Jika uang belanjanya kurang, pemilik warung hanya bisa pasrah seraya mengelus dada.
Kabar tertangkapnya Robendi membawa ketenangan bagi warga desa.
*****
Sehari setelah diringkus, Robendi menjalani pemeriksaan di Mapolres Murung Raya. Pagi itu tubuhnya telah segar bugar, kekuatannya telah pulih.
Dengan tangan terborgol, Robendi mengakui perbuatannya yang keji. Bahkan, kata-kata yang keluar dari mulutnya membuat petugas terguncang. Apa yang dituturkan Robendi selanjutnya benar-benar di luar nalar manusia. Bengis dan kejam.
Menurut pengakuannya, total ia telah membunuh tiga orang anak kandung, dua diantaranya merupakan hasil persetubuhan sedarah dengan anak perempuannya, RK.
“Saya kesal karena mereka rewel dan menangis. Saya habisi saja supaya mereka tidak berisik lagi selamanya,” ungkapnya tenang.
Katanya, pembunuhan pertama terjadi pada tahun 2000 silam, anak kandung dari istri yang sah.
“Namanya Herda, umurnya dua tahun, jenis kelamin perempuan. Bayi itu kucekik hingga tidak bernapas. Kucekik sangat kencang hingga matanya hampir copot dan wajahnya membiru serta urat pipinya menonjol.”
Ujar Robendi, anak pertamanya sempat memegang tangannya, berusaha untuk melepas. Bulir air mata sang bocah jatuh di tangannya yang kaku. Sang anak megap-megap, kelojotan mencari napas.
Namun apalah daya seorang bocah berusia dua tahun melawan lelaki dewasa. Anak yang seharusnya ia lindungi justru dibunuh dengan keji.
Mayat Herda ia kubur sembunyi-sembunyi di belakang rumahnya supaya tidak ketahuan tetangga. Istrinya yang curiga dengan kematian tak wajar anaknya tidak bisa berbuat banyak. Kerap dipukul hingga babak belur membuat wanita lemah itu tak berdaya. Bahkan, hantaman popor senapan angin mengenai wajah sudah menjadi makanan sehari-hari.
Pada tahun itu juga, istrinya Robendi melarikan diri, meninggalkan RK dan KM di tangan ayahnya. Wanita itu tidak ada pilihan, lantaran hanya menunggu waktu sebelum Robendi menggorok lehernya. Ia berharap, Robendi lebih bertanggung jawab mengurus dua anak yang masih kecil.
Setelah ditinggal sang istri perangai Robendi tak berubah. Perilakunya tetap kasar dan emosinya gampang tersulut. Adalah suatu kesialan jika kebetulan menatapnya. Tatapan baginya suatu tantangan. Ia akan menempeleng tidak peduli anak kecil ataupun orang tua renta. Laripun percuma, ia akan mengejar hingga dapat lalu ia gebuki.
Bila moodnya sedang buruk, ia akan meninju siapa saja yang ia temui di jalan. Bahkan, kucing kampung pun tak lepas dari tendangan kakinya yang dekil.
Konon kata orang desa, Robendi paling membenci suara adzan Magrib. Jika sudah begitu, ia akan lari ke hutan. Kumandang adzan membuat telinganya sakit dan kepalanya mau pecah. Jika malam purnama, taring tumbuh di celah bibirnya dan bulu-bulu halus keluar di sekujur badan bak orang utan.
Memang sulit dinalar, tapi seperti itulah yang diungkapkan orang-orang kampung.
Robendi rupanya cukup sadar diri. Orang-orang kampung tak menyukainya. Suatu hari ia mengajak kedua anaknya menyepi di hutan, membangun pondok dan ladang.
Tanpa ada yang tahu, awal kemalangan RK dan KM baru saja dimulai.
*****
“Pertama kali kusetubuhi saat umurnya 10 atau 11 tahun. RK awalnya hendak berontak, ku tempeleng wajahnya dan kutinju perutnya. Saat kutindih ia menangis dan memanggilku ayah, berucap jangan,” ungkap Robendi anteng.
KM yang berada di luar kamar berteriak, berusaha mencegah. Robendi yang sudah diselimuti birahi segera membuka pintu, lalu menghajar anak lelakinya hingga pingsan. Setelah itu ia kembali untuk menuntaskan hasratnya yang sempat tertunda.
Perbuatan bejat itu ia ulangi lagi hingga matahari terbit. Setelah hasratnya tuntas, ia mendengkur seharian hingga matahari terbenam bersarung kumal. Bertahun-tahun RK ia kurung di kamar, hanya boleh keluar saat hendak mandi. Itupun ia awasi dengan ketat.
“Tendangan di perut sudah cukup membuatnya menurut,” ungkap Robendi pada penyidik.
Jika menolak berhubungan badan, RK tidak hanya disiksa, tapi juga dilarang diberi makan hingga berhari-hari. Anak perempuannya tumbuh dalam rasa takut, lapar, serta sakit lahir dan batin.
Untuk pekerjaan rumah ia pasrahi KM. Anak lelakinya itu ia tugasi mengurus ladang, mencuci pakaian hingga memasak. Jika mengeluh, ia tak ragu menggebuki hingga babak belur. Kadang pukulan kayu dan bogem di kepala supaya jera.
Pada tahun 2016, akibat nafsu bejat sang ayah
RK melahirkan anak pertama. Saat itu usianya baru menginjak 13 tahun. Persalinan dilakukan sendiri di pondok mereka yang suram. Bayi itu sempat berumur sampai tiga bulan sebelum dihabisi ayah sekaligus kakeknya. Alasannya sama. Ia kerap rewel dan menangis.
“Bocah itu membuat waktu tidurku terganggu saja. Apalagi RK lebih mengurusi bayinya daripada melayaniku. Kuhabisi saja anak itu supaya ia bungkam. Kubanting lalu kuinjak hingga ia akhirnya diam.”
Petugas yang mendengar pengakuan Robendi terhenyak. Ditatapnya Robendi penuh kebencian. Apa yang ia dengar barusan benar-benar menguras emosi.
Hampir saja keyboard komputer ia hantamkan ke kepala lelaki bejat di hadapannya. Ia menarik napas dalam-dalam lalu menghela perlahan agar amarahnya tak meledak.
Bagaimanapun juga, pengakuan Robendi teramat penting demi mengungkap perilaku binatangnya.
Lanjut Robendi, KM membalut jasad bayi mungil itu dengan kain lusuh lalu mengubur jasadnya di pekarangan pondok mereka.
Di dalam kamar, RK hanya bisa menangis dan merintih meratapi nasibnya yang penuh kesialan.
Kemalangan demi kemalangan seakan tak pernah lepas dari hidupnya yang rapuh.
Perlahan, gadis awal remaja itupun mulai hilang kewarasan.
Pada tahun 2017, RK yang sudah setengah gila kembali melahirkan. Begitu pula pada tahun 2018. Jenis kelamin kedua anak sekaligus cucunya itu belum diketahui persis. Menurut keterangan Robendi, kedua anaknya itu masih hidup dan diantarkan ke Kaltim.
Setelah bertahun-tahun menjadi budak nafsu ayah kandung, RK akhirnya meregang nyawa pada September 2019 dalam keadaan memprihatinkan. Tidak ada pemakaman yang layak, tidak juga doa-doa yang mengiringi kematiannya.
Seminggu berselang, Robendi si jagoan kampung akhirnya diringkus aparat setelah mendapat laporan KM yang berhasil melarikan diri.
“Saya khilaf,” ucap Robendi datar kepada petugas yang mengetik keterangannya.
*****
“Terhadap tersangka dikenakan UU 35 tahun 2014 tentang perubahan UU 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak Pasal 80 ayat 4 dengan ancaman 15 tahun penjara, karena menyebabkan meninggalnya seorang bayi. Karena korban merupakan anak kandung, ancaman hukuman penjara ditambah lima tahun menjadi 20 tahun,” ujar Kapolres Murung Raya, AKBP Dharmeswara, saat menggelar konperensi pers (28/1/20).
Setelah kasus ini terbongkar, jasad RK dan korban lainnya dimakamkan dengan layak. Robendi kini mendekam di penjara, sementara KM seolah lenyap ditelan bumi. Tersiar kabar bahwa ia merantau ke tempat yang jauh, mencoba melepas masa lalu tanpa ada jaminan bebas dari trauma mendalam.
-Tamat-
Note : Setelah mendatangkan seorang tetua Dayak, petugas berhasil mencabut jimat yang tertanam di lengan kiri Robendi. Konon, jimat tersebut berupa minyak yang dimasukan ke dalam botol kecil, lalu dijahit di bawah kulit.
Setelah jimatnya hilang, Robendi akhirnya bisa merasakan sakit seperti yang dialami anak-anaknya.
Tinggalkan Balasan