Kalimat ini mungkin terdengar provokatif dan mengejutkan. Tapi tunggu dulu, mari kita pahami lebih dalam apa sebenarnya yang dimaksud Nietzsche.

Saya akan jelaskan dengan cara yang berbeda. Bayangkan saja, dulu ketika kita masih kecil, kita percaya Sinterklas itu nyata. Tapi seiring berjalannya waktu, kita “membunuh” Sinterklas dalam pikiran kita. Bukan dalam artian fisik, tapi kita tidak lagi membutuhkan figur itu untuk menjelaskan realitas.

Begitu juga maksud Nietzsche. Dia tidak sedang bilang Tuhan secara fisik sudah mati. Yang dia kritik adalah bagaimana masyarakat modern sudah tidak lagi “membutuhkan” Tuhan sebagai dasar nilai moral dan makna hidup.

Nietzsche melihat fenomena menarik di masanya. Gereja kehilangan pengaruh, sains berkembang pesat, dan orang-orang mulai mencari makna hidup di luar agama. Tapi ini justru membuat dia khawatir. Kenapa? Karena menurutnya, masyarakat belum siap hidup tanpa “fondasi” nilai-nilai absolut yang selama ini disediakan agama.

Ibaratnya begini: Selama ini kita punya GPS bernama “Tuhan” yang menunjukkan mana arah yang benar dan salah. Tiba-tiba GPS itu hilang. Kita bebas pergi ke mana saja, tapi justru kebingungan mau ke mana. Inilah yang Nietzsche sebut sebagai nihilisme.

Nietzsche tidak sedang mengajak kita jadi ateis. Dia justru memperingatkan: kalau mau “membunuh Tuhan”, kita harus siap menciptakan nilai-nilai baru. Manusia harus berani jadi “Übermensch” (manusia unggul) yang bisa menciptakan makna hidupnya sendiri.

Jadi ketika Nietzsche bilang “Tuhan telah mati”, dia sebenarnya sedang berteriak: “Hei, kalian sudah tidak percaya pada nilai-nilai absolut lagi. Tapi apa penggantinya? Jangan cuma asal fomo! Pikirkan baik-baik konsekuensinya!”

Ini bukan soal percaya atau tidak percaya pada Tuhan. Ini soal bagaimana kita sebagai manusia modern memaknai hidup di tengah dunia yang semakin kompleks.

Sumber Berita: https://thegazettengr.com


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *